Cuaca Tak Tentu Bikin Produksi Gerabah di Badung Macet

Cuaca Tak Tentu – Musim yang tak menentu kini bukan cuma jadi keluhan petani. Para pengrajin gerabah di Kabupaten Badung, Bali, juga ikut menjerit. Proses produksi yang bergantung pada panas matahari kini terganggu akibat hujan yang datang sesuka hati. Hujan turun tanpa aba-aba, matahari bersinar hanya sebentar, dan langit seolah enggan memberi kepastian. Alhasil, gerabah yang seharusnya kering sempurna malah lembab, pecah, atau berjamur sebelum sempat di pasarkan.

Di daerah seperti Mengwi dan Abiansemal, yang di kenal sebagai sentra pengrajin tanah liat, kondisi ini membuat banyak pelaku usaha kecil menengah kelimpungan. Proses pengeringan yang biasa memakan waktu dua hari, kini bisa molor sampai seminggu lebih. Bahkan tak jarang gerabah harus di buang karena kualitasnya tak layak jual.

Gangguan Serius untuk UMKM Tradisional

I Nyoman Lodra, seorang pengrajin gerabah yang telah bekerja selama 25 tahun, mengaku frustasi. “Biasanya kalau cuaca panas, saya bisa produksi sampai 50 pot dalam sehari. Sekarang? Setengahnya pun belum tentu jadi,” ujarnya sambil menunjukkan deretan pot retak yang tak bisa di jual. Menurutnya, musim yang kacau ini sudah berlangsung sejak awal tahun dan semakin slot bonus new member.

Gerabah bukan sekadar karya seni. Ia juga adalah sumber penghidupan. Banyak rumah tangga di Badung yang menggantungkan hidup dari tanah liat, dari proses pembentukan, pengeringan, pembakaran, hingga pewarnaan. Semua tahap sangat sensitif terhadap kelembaban. Begitu satu bagian terganggu, seluruh rantai produksi pun mandek.

Usaha kecil seperti milik Pak Nyoman tidak punya kemewahan alat pengering atau oven modern. Mereka masih mengandalkan panas matahari, karena alat pembakaran otomatis terlalu mahal dan tidak efisien untuk skala kecil. Maka, ketika langit mendung datang berturut-turut, mereka hanya bisa pasrah. vcdesenhafacil.com

Dari Tradisi Menjadi Frustrasi

Pengrajin gerabah sejatinya adalah penjaga budaya. Mereka mempertahankan tradisi leluhur yang semakin langka. Tapi ketika mereka tak bisa menjual hasil karyanya karena rusak oleh cuaca, nilai dari pekerjaan ini makin terpuruk. Tak sedikit generasi muda yang akhirnya memilih meninggalkan usaha ini karena di anggap tidak menjanjikan secara ekonomi.

Situasi semakin di perparah dengan menurunnya permintaan dari sektor pariwisata. Gerabah biasanya menjadi incaran turis sebagai suvenir etnik. Tapi dengan cuaca yang tak bisa di tebak, pasokan gerabah berkualitas pun terganggu. Beberapa toko kerajinan di kawasan Kuta dan Seminyak mulai mengurangi pesanan karena tak ada jaminan barang datang tepat waktu.

“Orang luar lihatnya lucu, etnik, estetik. Tapi mereka nggak tahu susahnya bikin satu gerabah utuh di musim begini,” tambah Pak Nyoman, dengan wajah yang mulai lelah.

Pemerintah Lambat Tanggap, Pengrajin Terus Merana

Ironisnya, kondisi ini tidak di sertai respons cepat dari pemerintah daerah. Meskipun sektor UMKM sering di gembar-gemborkan sebagai tulang punggung ekonomi lokal, nyatanya ketika terjadi krisis kecil seperti ini, bantuan konkret minim. Tak ada penyuluhan, tidak ada bantuan tenda pengering, apalagi subsidi alat produksi.

Pengrajin hanya bisa mengandalkan insting cuaca, menebak-nebak kapan bisa mulai mengolah tanah dan kapan harus menutup hasil karya mereka dengan plastik seadanya. Strategi manual yang melelahkan, tak jarang tetap gagal melawan kelembaban.

Para pelaku UMKM berharap setidaknya ada pelatihan atau bantuan berupa teknologi sederhana untuk mempercepat proses pengeringan tanpa mengorbankan kualitas. Namun, hingga kini, semuanya masih sebatas wacana.

Di tengah kondisi ini, yang paling jelas terlihat adalah potret kesenjangan. Ketika industri besar bisa beradaptasi dengan teknologi dan modal, para pengrajin kecil masih menggantungkan nasib pada kemurahan cuaca. Ketidakpastian bukan lagi soal hari hujan atau cerah, tapi soal bisa atau tidaknya mereka bertahan hidup dari tanah yang mereka bentuk dengan tangan dan harapan.